PACARAN? ENGAK LAH YAUW

27 April 2009 pukul 12:30 am | Ditulis dalam Seputar VMJ | 6 Komentar

“Pacaran” adalah suatu kata yang tidak asing lagi kita dengar di kalangan remaja. Sebetulnya apa yang disebut dengan “pacaran” itu? Betulkah di dalam Islam ada yang namanya pacaran?

Pacaran diartikan sebagai suatu tali kasih sayang yang terjalin atas dasar saling menyukai antara lawan jenis. Apabila kita lihat secara sepintas dari definisi diatas mungkin dapat disimpulkan bahwa pacaran itu merupakan suatu yang wajar dilakukan dikalangan remaja. Padahal apabila kita tinjau dari sudut agama Islam, dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits ternyata tidak ada satu kalimatpun yang menjelaskan tentang pacaran.

Dalam Islam hanya ada khitbah (tunangan). Tapi khan tidak mungkin kita tunangan tanpa mengenal pribadi calon kita?. Tidak seperti itu, sebelum terjadi khitbah, di dalam Islam dianjurkan untuk berta’aruf (berkenalan) itupun kalau seandainya kita siap untuk nikah. Sebenarnya rugi kalau seandainya pacar kita itu bukan jodoh yang Allah SWT takdirkan untuk kita. Padahal kita sudah berkorban.
Sedikit kisah di zaman dulu, hidup seorang lelaki yang mencari cinta, namanya Arjuna. Saking ngebetnya, gunung tertinggi didaki, isi bumi dijelajahi, lautan pun diarungi, cuma untuk mencari tempat berlabuh, yaitu wanita. Gilee beneer… Nih Arjuna, kagak peduli gunung, bumi, lautan, alam semesta ini punya siapa, maen grasak-grusuk aja! Di setiap tempat Arjuna berkata, “Wahai wanita, cintailah aku.” Ih… nih anak, malu-maluin ya! Masa’ sih sampe’ gitu-gitu banget, ya…namanya juga pencari cinta!
Di kisah yang lain, seorang laki-laki yang bernama Ibrahim pun mencari cinta. Saat malam mulai menyapa alam, tampak sebuah bintang, tak lama kemudian sang bintang pun tenggelam. “Aku tak menyukai yang tenggelam,” kata Ibrahim. Beberapa saat kemudian, terbitlah sang rembulan, bersinar indah penuh kelembutan. Namun, bulan pun hanya sesaat, tersipu malu dengan keindahannya. Semburat cahaya subuh pun menyeruak kegelapan, kokok ayam jantan membelah tetesan embun pagi, tak lama keperkasaan mentari mewayungi jagat raya ini, “Inikah dia yang kucari?” tanya beliau pula. Bukan…bukan itu, karena mentari pun bersujud, lalu merunduk sembunyi.
Kisah di atas adalah gambaran dari dua manusia si pencari cinta. Di dunia ini, betapa banyak orang-orang yang mencari cinta. Namun jelas ada bedanya disini, antara laki-laki yang bernama Arjuna dengan Ibrahim a.s., yang namanya termaktub indah di lembaran suci Al Qur’an. Arjuna mencari cintanya tanpa tedeng aling-aling, gak peduli sana-sini, jumpalitan, cuma mencari cinta wanita. Emangnya salah si Arjuna, karena mencari cinta? Ih…jangan protes dulu dong, emang sih fitrah manusia itu ya pasti merasakan cinta
“Dijadikan indah pada(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita-wanita,anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas , perak, kuda pilihan, binatng-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia, dan disisi Alloh-lah tempat kembali yang baik (surga)”(QS Al Imran: 14). Tapi apa iya harus seperti itu? Masa’ sih akal, nalar dan fikiran sampe’ gak jalan, bahkan hingga melebihi cinta-Nya! Waduh…

Padahal banyak kisah cinta sejati di dunia ini lho, salah satunya adalah cinta Ibrahim yang tak pernah pudar, setelah ia mengenal dan mengetahui siapa yang patut menerima cintanya. Beliau mengenal, dan kemudian sayang, lantas jatuh hati kepada Sang Pencipta. Karena itu yang dicintai pun berkenan menyambut cintanya, bahkan menjadikannya sebagai khalilullah [QS An Nisaa’: 125].
Cinta disini bukan cinta yang penuh kepalsuan, emosi apalagi birahi, namun cinta laksana mutiara yang memancarkan cintanya pada Rabb seluruh jagat raya ini, mengaliri denyut nadi, helaan nafas serta aliran butir darah untuk tunduk dan patuh pada perintah-Nya. Cinta ini mestinya menempati prioritas utama pada diri seorang muslim, yakni cinta kepada Allah SWT, Rasul dan jihad di jalan-Nya. Inilah cinta hakiki!

Untuk itu, marilah kita sama-sama untuk menghindari yang namanya pacaran itu. Karena kasih sayang tidak harus diungkapkan kepada seseorang saja, tetapi kepada siapa saja. Apabila kita melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh agama, maka kita akan berdosa. Begitu juga pacaran, apabila kita melakukan apa yang disebut dengan pacaran, maka kita akan berdosa pula. Na’udzubillaahi min dzalik.

Untuk menghindari semua itu ada beberapa tips antara lain :
1. Menundukan pandangan.
“Firman Allah dalam QS An-Nuur : 31 mewajibkan kita untuk menundukkan pandangan. Sabda Rasul : “Pandangan itu merupakan salah satu panah iblis.”
2. Jangan berduaan dengan lawan jenis.
“Janganlah kamu pergi berduaan dengan lawan jenismu, sebab yang ketiganya adalah setan.”
3. Memperbanyak shaum sunat
Hal ini dimaksudkan agar kita selalu dapat menjaga pandangan dan menahan hawa nafsu.

Cobalah tiada lain suatu amalan yang dicintai Allah, sesungguhnya Allah akan jauh lebih mencintai kita. Carilah amalan yang disukai Allah, setelah kita tahu bahwa dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran, cobalah untuk membatasi diri dalam hal itu. Ingatlah bahwa jangankan berpacaran, mendekatinya saja kita sudah tidak boleh. Firman Allah “Janganlah kamu dekati zina”.
Kita tidak bisa menjaga pandangan dari yang tidak halal berarti kita sudah zina mata. Begitupun dengan pendengaran, pembicaraan, hati, bila tidak kita jaga dari perbuatan yang mendekati zina, berarti kita sudah berzina. Na’udzubillaahi min dzalik.

*tulisan kiriman dari bang ande2lumut

Spiritual Transformation 2009

14 April 2009 pukul 9:03 am | Ditulis dalam Agenda Kegiatan | 1 Komentar

Agenda Station ’09 (Spiritual Transformation 2009)

1. Tabligh Interaktif dengan Tema “PILIH HALAL HARAM atau HALAM”

bersama : Ust. Usman (pengasuh Panti Asuhan dan Pesantren YAtama Al Firdausi)

Ahad, 19 April 2009 pukul 08.00 – selesai

bertempat di Masjid Pangeran Diponegoro Tembalang Semarang

2. Bedah Buku “Obama 100 % Yahudi”

Bersama : a. Tony Syarqi (Penulis buku)

b. Abu Fatiah Al Adnani (pemerhati dan penulis buku Akhir Zaman)

Ahad, 26 April 2009 pukul 08.30 – sebelum dluhur

Bertempat di MAsjid Pangeran Diponegoro Tembalang Semarang.

don’t miss it!

Hanya Soal Penampilan

14 April 2009 pukul 8:44 am | Ditulis dalam Uncategorized | 1 Komentar

Hanya Soal Penampilan

Oleh Burhan Sodiq

Pernah dalam sebuah kesempatan, saya bergabung dengan sebuah training kepenulisan. Seperti layaknya seorang peserta, saya duduk di barisan pertama, datangnya pertama pula. Kemudian datang peserta yang lainnya, dan membuka percakapan dengan saya. Di awal perkenalan itu, tiba-tiba ada sebuah pertanyaan kepada saya, “Bapak dari partai itu ya?” Teman baru saya itu menduga saya adalah bagian dari sebuah partai dakwah tertentu. Saya pun hanya tersenyum dan kemudian berkata, “Bukan kok.”

Pada kesempatan yang lain, saya pernah diundang ke sebuah acara workshop pengembangan diri. Kali ini saya diundang sebagai pembicara dan bukan sebagai peserta. Selama menunggu acara, seorang ikhwan mengajak saya ngobrol banyak. Dari mulai hal-hal sepele hingga strategi dakwah di kampus. Nah, di sesi ini, saya diberikan informasi-informasi rahasia sebuah gerakan dakwah harakah tertentu. Ikhwan itu berpikir saya adalah bagian dari mereka. Sehingga semua informasi diberitahukan ke saya. Dari mulai strategi global hingga strategi detail.

Hingga kini saya pun masih bertanya-tanya, kenapa ya mereka melakukan itu? Saya pun kemudian berpikir mungkin karena penampilan saya. Karena sampai hari ini orang selalu melihat dari segi penampilan saja. Bahkan dari sebuah penampilan, seseorang langsung dipetakan sebagai anggota gerakan Islam tertentu. Misalnya saja, ketika ada seorang yang gemar memakai gamis panjang serba putih, memakai kopiah haji putih dan jenggotnya panjang menjuntai, setiap kali ngomong selalu masalah aqidah dan sering bicara bid’ah, maka orang dengan stereotype seperti ini langsung dipetakan sebagai kelompok X.

Berbeda lagi dengan seseorang yang terlihat necis, pakaian rapi ala eksekutif muda, baju dimasukkan dan memakai ikat pinggang. Celana kegombrangan hingga mungkin menutup mata kaki. Setiap kali bicara selalu menyinggung masalah partai, demokrasi dan HAM yang dilabeli Islam. Maka orang dengan typikal ini langsung dipetakan sebagai kelompok dakwah tertentu juga.

Berbeda lagi dengan mereka yang memakai peci ala Taliban, berpakaian baju koko biasa, celana di atas mata kaki dan juga berjenggot. Apa yang dibicarakan selalu pada soal jihad, jihad dan jihad. Maka orang dengan ciri ini juga akan segera dipetakan sebagai kelompok Islam tertentu.

Lalu apa yang akan terjadi jika stereotype ini tidak bisa lagi sebagai patokan. Bergamis tetapi suka ngomong demokrasi, atau bertampang necis tapi suka bicara jihad, atau malah bertampang mujahidin tetapi malah suka membid’ahkan orang lain? Saya pun tidak bisa menjawabnya. Karena penampilan memang bukan sebuah jaminan. Fikrah hanya bisa dilihat pada saat berdialog dan beradu argumen, sedangkan penampilan bisa saja berbeda dengan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Hmm.., semoga setelah membaca tulisan ini, sobat tidak penasaran, penampilan saya seperti apa.

Allah Rabb Kita

14 April 2009 pukul 8:37 am | Ditulis dalam aqidah kita | 1 Komentar

Allah Rabb Kita

Oleh : Umar Faqihuddin

(Direktur Ponpes Islam Baitussalam Semarang)

Ada tujuh pemuda yang berkumpul di suatu hari di hamparan hijau tanah lapang. Kemudian mereka mempunyai ide untuk menceritakan nikmat terbesar yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Ada yang mengatakan : kesehatan, yang lain mengatakan anak-anak, sebagian lain mengatakan pendengaran dan penglihatan, sebagian lain mengatakan ayah dan ibu, yang lain mengatakan harta benda serta ada juga yang mengatakan Islam. Kemudian tiba giliran seorang pemuda yang berusia 18 tahun mengatakan nikmat terbesar dalam hidup ini bahwa Allah Rabb kita…. Begitu tajam dan peka perasaan pemuda ini.

Sobat bolam, coba kita renungkan,hamba siapakah kita?. Apakah kita hamba diri kita sendiri ataukah hamba syahwat kita sendiri? Milik siapakah kita sebenarnya? Apa tujuan kita hidup di dunia? Ini adalah pertanyaan yang bertebaran bersama berbagai hal kehidupan di dunia ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berusaha menjawab berbagai pertanyaan ini dengan jawaban yang mencakup semua hal, dan beliau tidak menemukan jawaban selain : ”Betapa malangnya penduduk dunia yang keluar dari dunia ini tanpa sempat merasakan hal yang paling manis di dalamnya” Beliaupun ditanya : ”Apakah gerangan hal yang paling manis di dunia?”. Beliau menjawab ”Mencintai Allah adalah hal yang paling manis di dunia”. Dan sudah barang tentu untuk mencintai Allah, sobat harus mengenal Allah dengan baik. Karena dengan mengenal-Nya, hati akan lapang dan tentram dari segala rumitnya urusan kita. Mengenal Allah adalah dengan mengenal tauhid terlebih dahulu, yang mendasar adalah tauhid rububiyah. Ada 4 hal yang dikandung dalam tauhid rububiyah yang sangat rugi apabila sobat tidak memahaminya :

  1. Allah adalah Al- Kholiq, maknanya Yang Menciptakan.

”Allah Pencipta segala sesuatu..” (QS. Az-Zumar : 62)

Kalau ini sudah tertanam dalam keyakinan, maka sobat tidak akan risau, gelisah dengan apa yang lebih dan kurang dari diri sobat. Maksudnya gimana nich??

Maksudnya bila pipi berjerawat, rambut seperti kawat, olah raga kagak kuat, beberapa tubuh bahkan cacat, pendek, kurus atau bahkan malah tambun seperti Boo(kungfu panda). Hal itu tidaklah membuat cemas karena toh Allah lah yang menciptakan semuanya. Dibalik seluruh penciptaan pastilah ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Cepat atau lambat pasti akan ketemu. Tergantung kita mau mencarinya atau membiarkan berlalu begitu saja. Sobat dan kita adalah makhluk-Nya. Seberapa pantaskah kita memprotes mengenai sebaik-baik karya Yang Maha Kuasa. Jika betul kayak gini, jadilah orang yang bahagia, dengan mengucap syukur kepada-Nya, mengungkap syukur dengan amal taat yang tak kenal habisnya.

  1. Allah adalah Ar Roziq maknanya yang memberi Rezeqi.

”Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya di jamin Allah rezekinya.” (QS. Hud : 6)

Sobat Bolam, apa yang membuat orang sengsara,dan menangis sejadi-jadinya? Ya,. Lebih sering disebabkan karena urusan rizki yang sangat takut kehilangannya dan sangat ambisius untuk meraihnya. Kalau Allah yang menjaminnya dengan syarat kita melata, bertebaran di muka bumi dalam mengikhtiyarinya, kenapa kita terlalu mencemaskannya bahkan sampai ketakutan yang teramat sangat. Bentuk kecemasan itu dengan mencari jalan yang haram dengan mendatangi dukun, jimat, mendengki pesaing, bahkan lebih buruk lagi dengan tidak berusaha sama sekali karena sudah berputus asa. Lemparkan pancing dan umpannya ditempat yang mungkin kita dapatkan ikan di dalamnya. Sambil kita gantungkan harapan dimakannya umpan oleh ikan dan banyaknya ikan yang mengerumuninya kepada Dzat yang membagi rezeqi. Allah yang memiliki rezeqi dan Allah lah yang akan membaginya. Bagaimana menurut sobat jika meminta rezeqi kepada yang memiliki dan membaginya??.

  1. Allah yang merajai dan memiliki kuasa kerajaan

”Katakanlah(Muhammad),”Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ’Imran : 26)

Sobat bolam, kenapa harus meriang terkapar diatas ranjang ketika tidak jadi pemenang?, kenapa harus susah kalau kalah? Kenapa harus cemas kalau karier kita terhempas?. Dan kenapa-kenapa yang lain sementara hati kita sudah dipenuhi keyakinan bila yang memberikan kekuasaan hanya Allah. Kita hanya diperintahkan untuk mengikhtiyari dan menapaki. Dan ditangan Allah segala kebaikan manusia itu ada, hanya saja manusia tidak memahami kebaikan menurut Allah. Kita minta kebaikan kepada-Nya dalam rangkaian do’a adalah kebaikan menurut Allah.

  1. Allah adalah Al Mudabbir, yang mengatur segalanya.

”Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” (QS. Al-Fatihah : 2)

Sobat bolam, ternyata Allah yang mengatur siang dan malam, dan apapun yang ada di alam semesta ini Allah yang mengaturnya. Cara mudah menyelesaikan masalah adalah dekat dengan manager atau yang mengaturnya. Maka jelas! orang beriman yang dekat dengan Allah, dan memahami tentang Allah, akan menemukan kelapangan dalam hidup dan ketentraman. Dan disinilah kesyirikan menjadi musuh dari tauhid, karena syirik akan mencabut kebahagiaan dari akarnya, dan merubah kelapangan menjadi sempit. Allahu a’lam

Nostalgia kanak-kanak

5 Februari 2009 pukul 9:42 am | Ditulis dalam Mutiara Hikmah | 3 Komentar

Masa kecil merupakan masa yang indah penuh kenangan. Anak kecil yang nduwe polah tingkah yang semau gue. Tidak pernah ada yang menghukum. Masa anak-anak merupakan masa layaknya seorang raja yang berhak berkehendak semaunya. Tetapi, pernahkah kita teringat pula akan kebaikan semasa masih kanak-kanak?. Terkenang dengan jaman sewaktu masih belajar ‘TPA’. Belajara mengeja huruf hijaiyah. Alif, ba, ta tsa hingga ya’. Begitulah kiranya ketika dahulu orang tua menitipkan kita kepada ustasdz ‘TPA’ agar mengajari kita membaca Al Qur’an.

Kini usia kita udah remaja menginjak dewasa. Masihkah kita melanjutkan pelajaran belajar membaca Al Qur’an dengan metode Iqra’ atau metode Qira’atiy hingga selesai materinya. Jika saat itu kita udah dinyatakan lulus dengan rentetan upacara wisuda kelulusan dan penglepasan dari madrasah diniyah, masihkah saat ini kita mengingat cara membaca Al Qur’an sebagaimana yang telah kita pelajari semasa kecil?. Ataukah lantaran kesibukan kita sebagai seorang pelajar, sebagai seorang mahasiswa, atau sebagai seorang wirausahawan muda tidak lagi mempunyai waktu luang untuk sekedar menengok dan membolak-balik Al Qur’an?. Atau bahkan lantaran udah sekian lama tidak bersilaturahim dengan Al Qur’an hingga kita lupa bacaannya dengan tartil dan benar, mana bacaan mat thobi’I, mana bacaan gunnah, mana bacaan idgham, ataupun iqlab. Disibukkan dengan kegiatan organisasi sekolah atau Kampus.

Memang, hidup sesusi dengan kehendak diri sendiri yang terasa bebas tanpa aturan yang mengikat terasa senang dan menggembirakan. Tetapi bukankah terasa hampa?. Seperti ada sesuatu yang hilang. “Dan barang siapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sungguh baginya kehidupan yang sempitdan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta Q.S Thaha : 124“. Masihkah sisa-sisa sepenggal pengalaman sewaktu nyantri di TPA tetap membekas hingga sekarang?

Mari sesekali mengalihkan pandangan ke arah Masjid, dimana dulu semasa kecil begitu bergembira lantaran banyak teman-teman ngaji mengeja alif bengkong. Betapa suka citanya ketika memasuki bulan Ramadhan, setiap hari begitu riang melangkahkan kaki ke masjid menghadiri shalat tarawih. Terlebih begitu sangat bahagia memasuki hari Raya. Masihkah ingat akan nostalgia penuh ibadah tersebut? (rijal)

Anak dan Ayah

13 Januari 2009 pukul 7:09 am | Ditulis dalam Mutiara Hikmah | 4 Komentar

Seorang ayah dari keluarga yang makmur mengajak anak lelakinya pada suatu daerah untuk memperlihatkan padanya bagaimana kehidupan masyarakat miskin. Mereka menghabiskan beberapa waktu dan malam dipeternakan untuk merasakan kehidupan keluarga miskin. Dalam perjalanan pulang, sang ayah bertanya pada anak lelakinya

“Bagaimana perjalanannya?”

“Ini menyenangkan, Ayah”.

“Apakah kamu bisa melihat kehidupan orang miskin?” Tanya sang Ayah.

“Oh Ya“. jawab anak lelaki.

“Jadi, katakan padaku, apa yang kamu pelajari dari perjalanan ini”? Tanya sang Ayah.

Jawab sang anak:

“Aku melihat bahwa kita punya 1 ekor binatang kesayangan dan mereka punya 4 binatang kesayangan. Kita punya kolam renang yang menjangkau taman kita dan mereka punya teluk yang tak berujung….

Kita punya lampu taman buatan luar negeri dan mereka punya bintang dilangit malam.

Teras belakang kita menjangkau pekarangan dan mereka punya seluruh alam semesta. Kita punya sejengkal tanah untuk hidup dan mereka punya ladang luas untuk hidup selamanya. Kita punyak banyak pembantu yang melayani kita, tapi mereka saling melayani. Kita selalu membeli makan, tapi mereka meyediakan sendiri. Kita punya dinding-dinding untuk melindungi harta benda kita;  Mereka punya teman untuk melindungi mereka”

Sang Ayah hanya terdiam terpaku

Lalu sang anak menambahkan,

“Terimakasih Ayah untuk menunjukkan seberapa miskinnya kita”

Bukankah ini hal yang indah untuk direnungkan?

Membuat kita menyadari apa yang akan terjadi jika kita bersyukur atas apa yang kita miliki, dibanding hanya mengkhawatirkan apa yang tidak kita miliki.

Bersyukurlah atas segala sesuatu yang kita miliki!

Ana, Antum, Anti, Akhi, Ukhti…

25 Desember 2008 pukul 3:07 am | Ditulis dalam Balada Anak Kampus | 5 Komentar

Suatu ketika, seorang Mahasiswa yang gemar mengadakan acara-acara keIslaman di kampus berbincang dengan saya :

“Maz, kenapa yaa, saya kok belum sreg untuk memanggil ikhwan-ikhwan dan akhwat-akhwat semua dengan panggilan yang lebih Islami. Saya lebih suka memanggil dengan panggilan sampeyan, njenengan, mas A, mbak B dari pada memanggil antum, ana, akhi, ukhti, anti. Bagi saya panggilan seperti kang bisa lebih membuat akrab dalam perbincangan. Apakah ada yang salah dengan diri saya?. Apa memang lidah saya belum terbiasa dengan panggilan dengan bahasa arab tersebut?”

Dilain waktu, seorang ketua Rohis sebuah Fakultas Perguruan Tinggi Negeri di Semarang pernah berucap pada saya ketika awal-awal saya menjadi mahasiwa.

“Mungkin antum belum terbiasa dengan panggilan ana, antum, akhi, ukhti, anti tetapi dengan bergabung di Rohis Insya Allah nanti akan terbiasa dengan panggilan-panggilan seperti itu. Karena memang kita lebih sering menggunakan panggilan tersebut agar jalinan ukhuwah bisa lebih erat lagi”.

Geliat dakwah yang semakin menggeliat membuat panggilan untuk saudara kita harus hijrah kepada kosa kata arab. Seakan panggilan ana, anti, antum , akhi, ukhti menjadi keharusan bagi seorang aktivis. Panggilan tersebut memang awalnya didesain agar jalinan ukhuwah diantara pegiat dakwah semakin lengket.

Dalam perkembangannya, muncul sebuah kesan baru bahwa panggilan ana, anti, antum , akhi, ukhti seakan menjadi jarak pemisah antara kalangan pegiat dakwah dengan kalangan mahasiswa umum. Sehingga terkadang muncul stigma anak-anak rohis khan memanggilnya dengan ana, antum, akhi, ukhti, lha saya memanggil sesama muslim dengan njenengan, sampeyan, kowe, aku, maka tak pantas bagi saya masuk rohis.

Bahkan dalam penggunaannya terjadi perubahan makna, panggilan ikhwan dan akhwat terkadang dikhususkan untuk kalangan tertentu, yang mempunyai pemahaman yang sama. Padahal dari asal muasal kata tersebut berarti saudara laki-laki (ikhwan) dan saudara perempuan (akhwat).

So, jika memang tujuan awal penggunaan istilah akhi, ukhti, antum, anti memang lebih bisa mengakrabkan dan menjalin ukhuwah, maka silahkan dilanjut. Dan disisi lain, bagi yang sudah merasa nyaman dengan penggunaan jenengan, sampeyan, kang, mbak, kowe, aku tak ada salahnya untuk dilanjutkan bila dengan penggunaan bahasa tersebut lebih bisa menjalin ukhuwah. Karena memang halus dan kasarnya bahasa masing-masing daerah berbeda-beda.

Dan yang paling penting tidak ada diskriminasi dan permbedaaan status seseorang dari orang-orang yang memanggil dengan panggilan akhi, ukhti, antum, anti kepada orang-orang yang tetap dengan panggilan jenengan, sampeyan, kang, mbak, kowe, aku. Toh status seorang muslim tidak diukur dari simbol yang dikenakannya, termasuk juga simbol bahasa dalam hal ini. Tetapi diukur dari derajad ketaqwaannya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla

oleh

zon’s


Mahasiswa dan Idealisme Intelektual

24 Desember 2008 pukul 7:39 am | Ditulis dalam Balada Anak Kampus | 1 Komentar

mahasiswaDalam beberapa kesempatan, Mahasiswa mempunyai andil yang besar dalam menentukan arah kebijakan publik. Secara kasat mata, rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun harus bertekuk lutut lantaran mahasiswa turun ke jalan. Begitu pula ketika UU BHP akan (dan telah) disahkan oleh DPR, mahasiswa pun tak kalah agresif dalam menolaknya. Kisah heroisme mahasiswa sebagai pengontrol kebijakan publik pastilah masih memiliki kisah yang cukup panjang untuk disimak.

Kiranya posisi Mahasiswa bagi kalangan masyarakat masih menjadi simbol intelektualitas muda yang diharapkan menjadi tulang punggung kehidupan masa depan. Terlebih lagi bagi kalangan Mahasiswa muslim yang dipundaknyalah risalah penegakan dienullah akan diembankan.

Pada banyak kesempatan penulis menjumpai mehasiswa yang telah kehilangan identitas intelektualitasnya. Salah satunya adalah budaya membaca dan menulis. Praktis, mahasiswa lebih berorientasi pada nilai mid semester ataupun ujian semester. Tugas menyusun makalah yang seharusnya dikerjakan dengan menggunakan telaah, hanya modal copy-paste dari teman kuliah atau dari artikel di internet tanpa telaah lebih jauh.

Terlebih lagi jika menilik kondisi mahasiswa di beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia wabil khusus mahasiswa muslim. Berapa banyak diantara mereka yang ketika berbicara hanya asal ngomong tanpa didasari oleh rujukan yang jelas. Sehingga tak sulit menjumpai mahasiswa yang pandai ketika sambil memegang buku, ketika jauh dari buku tak ubahnya hanya sebuah parodi saja.

Begitu pula ketika dalam perbincangan dan ngerumpi keseharian sesama mahasiswa (dan sesama jurusan). Berapa banyak diantara mereka yang memperbincangkan tentang kuliah dan tugas-tugasnya. Kebanyakan pastilah akan memperbincangkan pasangan (baca : pacar), atau bagi yang masih jomblo akan memperbincangkan target operasi. Perbincangan tidak akan jauh dari cewek (bagi cowok) dan begitu pula sebaliknya. Ngerumpi masalah target penembakan memang lebh asyik dan menyenangkan daripada ngerumpi masalah kuliah yang dosennya killer, suka ngasih nilai pelit.

Memang terlalu przgmatis menjeneralisir, tetapi memang hanya sedikit mahasiswa yang membunyai konsep perubahan bagi kehidupan. Kiranya mampu dihitung dengan jari dalam satu jurusan, mahasiswa yang mempunyai konsep perubahan menjadi lebih Islami dan manusiawi dalam kehidupan.

Beberapa waktu lalu, penulis berbincang-bincang dengan seorang mahsiswa asal Jakarta yang menempuh jenjang kuliah di Semarang dan mengambil sebuah jurusan di Fakultas FISIP. Harapan awal begitu menggunung terkait idealisme sebuah komunitas dan iklim belajar yang kondusif. Tetapi ketika baru memasuki akhir semester pertama, ternyata sang mahasiswa begitu takjub mendapati realita yang sangat jauh dari persepsi awal yang ada dalam benaknya. Kondisi mahasiswa yang sangat hedonisme, jauh dari nilai-nilai Islami yang ada dalam benaknya. Harapan awal agar mampu menjadi Mahasiswa yang nyantri tinggallah harapan.

Begitu banyak tangan-tangan yang ikut ambil bagian dalam membentuk pribadi seorang mahasiswa. Akhirnya dengan sebuah asa tersisa dalam diri sanubarinya, sang mahasiswa tersebut berusaha semampunya membendung arus hedonisme dan individualime yang begitu menggurita bak cendawan di musim penghujan. Seorang diri yang mencurahkan tenaganya ibarat melawan arus yang tumbuh subur.

oleh

zon’s

gambar dari sini

‘Cinta’ Tanpa Logika

22 Desember 2008 pukul 1:33 am | Ditulis dalam Seputar VMJ | 9 Komentar

loveheart

Cinta menuntut cemburu. Tanpa cemburu seakan cinta yang ada hanyalah OMDO. Lantaran cinta dan cemburu, seorang manusia tega membunuh wanita yang dicintainya. Sebagaimana sebuah kabar yang membuat saya takjub “mlongo”. Seorang mahasiwa membunuh pacarnya lantaran cemburu dan sakit hati. Karena cinta pula seorang manusia akan senantiasa awet muda, (baca : mati muda). Lantaran cinta pula asa cita-cita hanya sampai di penjara.

Sepenggal kisah yang mengajarkan tentang cinta salah jalan yang diperankan dengan sangat tragis oleh aktor mahasiswa, sebuah elemen masyarakat yang digadang-gadang memiliki tingkat intelektual yang tinggi sehingga mampu menggunakan akal warasnya ketika hendak melakukan sesuatu.

Tetapi ternyata sang pemain tidak lagi mengindahkan skenario dari Sang Sutradara Agung tentang jalan meretas asa cinta. Sang pemain lebih suka menggunakan skenario pilihannya sendiri, suka dan mencintai wanita yang cakep, (tanpa) melihat dari timbangan dien dan memilih menggunakan alur yang dituntunkan oleh Syetan dan Hawa Nafsunya.

Betapa banyak kalangan intelektual muda yang menggunakan akalnya hanya untuk urusan akademis, tetapi menggunakan hawa nafsunya ketika merambah dunia “cinta”. Memiliki pacar seakan manjadi komoditas yang sangat pantas disandang oleh intelektual muda tersebut. Bukan berarti mencintai harus dengan logika tanpa perasaan dan emosi, toh hakekatnya perasaan dan emosi terkadang tidak sejalan dengan akal sehat manusia. Jika perasaan dan emosi yang berbicara maka tertutuplah pancaran akal sehat manusia.

Jalan mencari dan menyalurkan hasrat cinta terkadang membawa manusia pada jalan berliku tanpa logika. Begitu pula ketika cinta diejawantahkan dengan jalan berdua-duaan dengan sang pacar, hingga terjadilah hal yang dikhawatirkan (baca perzinaan) atau hal-hal yang mendekatinya. begitu pula cerita pembunuhan lantaran berawal dari cinta. Maka dimanakah letak akal sehat intelektual muda yang didamba masyarakat secara umum?. Jika jalan meretas cinta lebih memilih tanpa logika dan mengekor nafsunya silahkan bersiap diri dengan memanen Cinta tanpa logika berbuah neraka

oleh

zon’s

Aneh, Tak Habis Pikir

18 Desember 2008 pukul 5:38 am | Ditulis dalam Balada Anak Kampus | 5 Komentar

musykerDalam sebuah percaturan perpolitikan kampus, setiap “elemen” hampir pasti mempunyai keinginan kuat mampu menancapkan cengkraman “kuku-kukunya”, baik itu melewati lembaga internal kampus ataupun melewati pengkaderan “oposisi”. Tak terkecuali dalam hal ini adalah Komunitas Islami dengan jenggot tipis menghiasi janggutnya, dan “Jidah Ireng” tak mau kalah menjadi simbol komunitasnya. Begitu pula dengan kaum hawanya, jilbab lebar dengan potongan blues yang tak mau ketinggalan “mode” seakan menjadi simbol bagi Komunitas tersebut.

Dengan segenap idealisme yang tinggi berusaha mewujudkan Masyarakat Madani* yang dalam bahasa keseharian Masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai keislaman (versi siapa?).

Ketika kondisi kader akhwat mengalami lonjakan yang sangat signifikan baik dari segi kualitas dan kuantitas, tetapi tidak diikuti jumlah kader ikhwan, maka mau tidak-mau akan terjadi ketimpangan dalam usaha menancapkan “hegemoni”nya.

Dalam sebuah pemilihan calon ketua sebuah Himpunan Mahasiswa, (tentunya melalui pemungutan suara), lantaran tidak adanya calon ikhwan yang mempunyai kapabilitas siap menerima tampuk kekuasaan, maka majulah seorang akhwat mencalonkan dirinya. Entah lantaran semangat dari dalam diri yang begitu membara, atau karena memang sudah di “proyeksikan” untuk menduduki jabatan tersebut.

Si akhwat (yang notebene dari komunitas ane-antum) bertarung habis-habisan dalam pemilihan tersebut dengan seorang calon laki-laki dari Komunitas “Lo-Gue”. Dalam akhir acara dimenangkan oleh Akhwat Super, tentunya dengan dukungan dari grass root nya.

Pada suatu ketika seorang akhi, dengan nada kalah keras dari si akhwat bergumam “Ini orang katanya mau memperjuangkan syariat hingga terbentuk masyarakat madani*, tapi kok Akhwat (baca : Perempuan) jadi pemimpin di sebuah organisasi yang anggotanya tidak hanya berasal dari kaumnya saja yach, lagian setahuku zaman Para Shahabat dan Ulama-Ulama Sholih lagi terpercaya tidak ada  yang menyerukan untuk beramai-ramai memilih calon si A atau si B untuk duduk di kursi kepemimpinan. Bahkan kebanyakan dari mereka menolak untuk diserahi jabatan. Lha Apakah dengan begitu masih layak disebut memperjuangkan syariat, padahal syariat yang ada dicampakkan begitu saja”.

Hmm, dunia sekarang memang membingungkan !.  Susah dan amat sedikit sekali orang mampu mengatakan hitam putihnya sebuah kebenaran dan cita-cita. Atau memang  seseorang telah dipaksa oleh keadaan sehingga terjerumus dalam abu-abu.

Mungkin dilain fihak, bisa jadi awalnya sebuah keterpaksaan mengambil jalan pintas (baca : abu-abu), tetapi tak selalu kondisi terpaksa akan senantiasa sama. Melihat kedudukan yang mentereng membuat manusia seakan LUPA akan kondisi terpaksanya, sehingga berusaha mencari dalih pembenaran atas apa yang diperbuatnya.

*Masyarakat Madani, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh  salah satu tokoh pencetus JIL (Jamaah Iblis Liberal), yang hingga akhir hayatnya tidak mau bertobat, dan setahu penulis lebih mampu mencakup semua hal jika menggunakan istilah Masyarakat Islam

Laman Berikutnya »

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.